Setahu saya dua kali sudah Abah ditawari pemasangan parabola, tapi selalu menolak. Abah bilang, kita mesti protektif terhadap arus global. Saya setuju alasan itu, apalagi di lingkungan pesantren memang mesti “steril”.
Akan tetapi makna ‘steril’ itu – menurut saya – bukan berarti menutup diri dari perkembangan dunia teknologi-informasi yang merupakan keniscayaan, tak bisa dibendung. Saya lebih sepakat bila ‘sterilisasi’ atau ‘filterisasi’ arus budaya (negatif) global itu lebih menitikberatkan pada pembangunan mentalitas, etika-moralitas manusianya ketimbang memberangus medianya.
Satu saat, pas saya bikin Aremanita MulTiVision, Abah nungguin saya di kamar. Abah Cuma geleng-geleng ketika Lela bilang, “Gantinya parabola.” Ga’ negur, juga ga’ nglarang, beliau ngloyor begitu saja keluar kamar Lela. Entah ‘duko’ atau apa yang dipikirin tentang ‘kreasi’ saya, tapi pas jamaah shubuh Lela ‘sungkem’, beliau biasa-biasa saja.
Belakangan, Lela dengar obrolan-obrolan tamu yang datang ke Abah. Diantaranya ada yang ‘bahas’ keharaman Facebook. Lela ga’ tahu apa komentar Abah soal itu. Karena Lela sudah tahu apa ‘illat’ (alasan) di balik pengharaman itu (Jawa Pos, 23 Mei, tiga hari lalu). Dan Lela punya pandangan dan pendapat sendiri soal itu.
Menurut Lela yang berpikiran ‘cethek’, bahtsul masa’il pondok pesantren Lirboyo yang membahas Facebook itu cuma akan menjadi promosi gratis bagi Facebook! Tak akan menghindarkan orang dari penggunaan jejaring sosial itu, apalagi menganggapnya sebagai sebuah dosa. Apalagi ketika dikemukakan sejumlah alasan di balik pengharaman itu diantaranya adalah: bila digunakan untuk ‘pdkt’ dengan lawan jenis, bergosip atau penyebaran fitnah, dan soal-soal hubungan intim (vulgaria). Selanjutnya berkembang ke media apapun seperti webcam, sms (bila diakronimkan sebagai ‘sarana merajut selingkuhan’), dsc.
Nah, dari sederetan argument itu Lela simpulkan bahwa pengharaman itu bukan haram lidzatihi (objek-medianya). Dengan kata lain ‘cuma’ haram dalam penyalahgunaannya. Dan itu tidak berlaku bagi Facebook saja, bisa apapun. Pena di ujung jari koruptor bisa jadi jauh lebih berbahaya ketimbang linggis di tangan kuli bangunan! Lagian, di Hasyiyatul Bajury juz’ I (di awal-awal, kalo ga’ salah di bab melihat aurat), ada keterangan menyatakan bahwa sekiranya tidak menatap langsung pada objeknya, maka tidak haram. Di sana dimisalkan dengan melihat aurat melalu bayangan air atau cermin.
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما باعتبار الزمان والمكان. Memandang objek-gambar, membaca , dengar suara yang menghanyutkan, atau chatting dsc dapat saja menjadi HARAM. Hukum bergeser pada status makruh, haram dst bila objek-gambar yang dipandangnya itu membangkitkan berahi apalagi sampe melahirkan pikiran kotor untuk berbuat maksiat seperti menyulut permusuhan, menanamkan benih-benih kebencian dll. Tapi.., Lela tetap berpendapat bahwa ‘kreatifitas berlebihan’ semisal kamasutra atau pornografi (yang jelas-jelas memvisualkan gambar telanjang, hubungan intim dsc), tetap saja bukan kreatifitas yang ber-PAHALA!
Well, sejauh mana kita bisa ambil manfaat dari apapun – menurut saya – baik saja. Walau keluar dari dubur babi kalau nyata-nyata telor tetap HALAL, tapi.., walau dari dubur burung onta kalau nyata-nyata ‘telek’ yach .. [?]
Menyorot Kiprah Pesantren
Diakui atau tidak, pesantren adalah institusi keagamaan (Islam) yang paling mengakar kuat di belahan bumi Nusantara. Pesantren adalah salah satu benteng pertahanan nilai-nilai agama warisan leluhur (walisanga) yang dulunya juga menjadi basis perlawanan menentang penjajahan lewat ajaran 'kejawen' sekaligus berkiprah langsung dalam pembangunan masyarakat ke arah yang lebih makmur dan madani.
Norma dan kode etik pesantren klasik masih menjadi standar pola relasi dan etiket keseharian santri dalam pesantren. Namun, pesantren terpadu ini telah mengadaptasi sistem pendidikan modern sebagai bentuk respon atau penyesuaian terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren. Di Indonesia, jumlah pesantren tipe ini sekitar 4.284 buah." NU Online
Belum banyak memang pesantren yang kiprahnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam pemberdayaan ekonomi yang di pesantren dianggap sebagai persoalan yang sangat krusial, "kada al-faqru an-yakuna kufron" (kemelaratan itu teramat dekat dengan kekafiran). Kekafiran dalam arti mengingkari aturan dengan menghalalkan segala cara.
Beberapa pesantren seperti Pesantren Agrobisnis Al-Ittifaq di Ciwidey, Jawa Barat dan Pesantren Al-Amanah dengan peternakan ayam dan ikannya di Cililin mampu menjadi kekuatan ekonomi lokal. Salah satu potensi ekonomi yang dimiliki pesantren adalah inkopotren (induk koperasi pesantren). Lembaga ini bisa dijadikan alat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Koperasi pesantren sangat berpotensi untuk mencetak wirausaha baru atau peluang usaha baru." (Baca lengkapnya di Kang IU)
Apapun yang Lela kemukakan di atas, tidak bermaksud menyudutkan pesantren manapun. Saya cuma ingin menyuarakan pentingnya membangun kekuatan ekonomi bangsa lewat pesantren. Forum-forum akbar selevel muktamar, bahtsul masa'il dsc akan lebih bermakna dan tersyukuri oleh masyarakat sekiranya lebih menyentuh terasa dalam kebutuhan sehari-hari.
Moga-moga, proposal yang diajukan pesntren Lela untuk pengolahan kripik buah dapat terealisasi. Dengan itu, kekuatan ekonomi dapat terbangaun minimal di kalangan alumni dan wali santri. Doain ya. Makasih..[]
Selamat menonton, bersama keluarga.. Semoga Anda dapatkan manfaat dan menambah wawasan Anda. Jangan lupa mengawasi putra-putri Anda dari acara yang kurang mendidik atau kurang relefan dengan usia putra-putri Anda, TERimaKasih..
Padhang Bulan